Jakarta -
Sebanyak 40 orang peserta calon pimpinan KPK telah lolos tes tulis. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti lolosnya Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dan Nurul Ghufron dalam seleksi tersebut.
"ICW juga menyoroti beberapa nama. Setidaknya ada sejumlah nama yang berasal dari internal KPK, yang paling terkenal kan pasti ada dua pimpinan saat ini, yaitu Johanis Tanak dan Nurul Ghufron," kata peneliti ICW Diky Anandya dalam acara diskusi bertajuk 'Menakar Kerja Pansel KPK 2024: Menguatkan atau Memperlemah Pemberantasan Korupsi?', Jumat (9/8/2024).
Diky mengatakan Pansel seharusnya melihat kinerja Ghufron dan Tanak selama menjadi pimpinan KPK lima tahun terakhir. Kinerja KPK di periode kepemimpinan keduanya sebagai bagian dari pimpinan mengalami keterpurukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kita flashback kinerja KPK periode 2019-2024 yang sering dihadirkan KPK itu lebih banyak kontroversi ketimbang prestasi," katanya.
Ghufron dan Tanak juga beberapa kali dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pelanggaran etik. Kasus etik Ghufron yang terakhir pun masih menggantung jelang sidang vonis setelah Ghufron menggugat Dewas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
ICW menilai kontroversi KPK yang banyak berkutat pada pelanggaran etik saat ini membuat kerja utama KPK di isu pemberantasan korupsi menjadi terganggu.
"Beberapa waktu terakhir lebih banyak berkutat pada pelanggaran etik di lingkungan mereka sehingga kerja-kerja utamanya, seperti penindakan, pencegahan, dan pendidikan menjadi tidak maksimal," jelas Diky.
"Ini yang kemudian penting untuk diawasi atau dilihat lebih lanjut oleh Panitia Seleksi karena di tahapan selanjutnya kan cukup krusial juga, profile assessment," sambungnya.
ICW mendesak Pansel menelusuri lebih jauh terkait rekam jejak Ghufron dan Tanak. Pansel diminta melihat riwayat kasus etik yang melibatkan kedua pimpinan KPK itu di Dewas KPK.
"Spesifik terkait dua nama ini sebetulnya kami meminta Panitia Seleksi itu bisa mencari jejak menggunakan metode jemput bola dengan Dewan Pengawas apakah dua orang ini pernah melakukan pelanggaran kode etik yang itu dikategorikan cukup berat. Jangan hanya bertumpu pada ada atau tidaknya putusan etik," ucap Diky.
(ygs/idn)