Jakarta -
Salah satu gejala penyakit gangguan jiwa berat seperti skizofrenia adalah halusinasi serta memiliki keyakinan kuat akan sesuatu yang tidak nyata.
Oleh karena itu banyak pasien yang dianggap terkena guna-guna, kutukan, atau pun santet. Beberapa pihak keluarga biasanya akan langsung membawa pasien skizofrenia ke paranormal.
Padahal skizofrenia merupakan penyakit gangguan di otak yang bisa diobati secara medis. Hal yang terganggu adalah cara berpikirnya sehingga timbul beberapa gejala.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beberapa MITOS atau pendapat yang salah di masyarakat yaitu: Skizofrenia adalah penyakit kutukan, akibat santet, guna-guna, kurang iman, dibuat-buat," kata spesialis kedokteran jiwa dr Lahargo Kembaren SpKJ saat dihubungi detikcom, Kamis (8/8/2024).
"Berdasarkan penelitian medis jelas terlihat bahwa ini adalah penyakit medis yang bila diterapi dengan cepat dan tepat bisa memberikan kesembuhan yang diharapkan," katanya lagi.
Menurut dr Lahargo, penyebab skizofrenia karena adanya ketidakseimbangan zat biokimia (neurotransmitter) di dalam saraf otak pengidap.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tersebut antara lain adalah:
- Faktor genetik, mereka yang memiliki anggota keluarga yang mengidap masalah/gangguan kejiwaan lebih rentan untuk terkena gangguan skizofrenia
- Adanya penyakit yang berat sebelumnya seperti kejang, penyakit tiroid, riwayat trauma kepala; penggunaan narkoba
- Situasi kehidupan yang berat yang menjadi stressor secara psikologis seperti adanya kekecewaan, keinginan yang tidak tercapai, kehilangan, dan lainnya.
"Hidup bersama dengan orang dengan skizofrenia bukanlah suatu hal yang tidak mungkin karena setiap pasien memiliki harapan untuk sembuh bila mengikuti strategi terapi yang diberikan," lanjut lagi.
Sebelumnya, Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI pada Juni 2024 mencatat prevalensi pengidap gangguan jiwa psikosis/skizofrenia. Dalam SKI 2023, Provinsi DIY dinyatakan sebagai wilayah dengan prevalensi tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga (ART) bergejala gangguan jiwa psikosis/skizofrenia, yaitu 9,3 persen.
Disusul Jawa Tengah dengan prevalensi 6,5 persen dan Sulawesi Barat 5,9 persen. Untuk rumah tangga yang memiliki ART dengan gejala dan sudah diagnosis gangguan jiwa psikosis/skizofrenia oleh dokter, DIY juga memiliki prevalensi paling tinggi yaitu 7,8 persen.
Kemudian, diikuti wilayah Jawa Tengah 5,1 persen dan DKI Jakarta 4,9 persen. Data SKI merupakan hasil wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan di 38 provinsi Indonesia sepanjang 2023.
(suc/naf)